Oleh: Noviyanto
Pagi itu, cahaya matahari masuk pelan melalui jendela rumah sakit Airan Raya. Udara masih lembap, bercampur aroma obat-obatan yang khas, membuat setiap tarikan napas terasa berat namun penuh kesadaran. Dari ranjang, aku memandang langit yang sedikit mendung, dan tiba-tiba ingat: hari ini adalah hari kemerdekaan.
Di luar sana, bendera merah putih pasti sudah berkibar di setiap sudut jalan. Toa masjid dan balai desa menyiarkan lagu perjuangan, sementara lapangan dipenuhi orang-orang dengan seragam rapi. Ada upacara, ada pidato, ada doa khidmat. Lalu sore nanti mungkin ada lomba sederhana: balap karung, panjat pinang, tarik tambang. Semua orang menyebutnya “perayaan kemerdekaan.”
Namun di balik gegap gempita itu, aku bertanya dalam hati: apakah ini benar-benar makna merdeka? Ataukah sekadar seremonial tahunan yang terus diulang, seakan kemerdekaan cukup diperingati dengan barisan tegap, panggung hiburan, dan hadiah kecil yang tak pernah menyentuh esensinya?
Di rumah sakit ini, aku melihat kenyataan lain. Ada orang tua yang menunggu hasil laboratorium sambil menghitung receh untuk bayar obat. Ada anak-anak yang mestinya berlari di lapangan, malah terbaring dengan selang infus di tangan. Ada pekerja yang pagi-pagi sudah berkeringat, bukan karena upacara, melainkan demi mencari uang untuk biaya rawat keluarganya. Apakah wajah-wajah itu bisa tersenyum sambil berkata: “Kami sudah merdeka”?
Merdeka mestinya lebih dari simbol. Ia seharusnya hadir dalam rasa aman ketika sakit, dalam pendidikan yang terjangkau, dalam pekerjaan yang layak, dalam kesempatan yang sama bagi setiap orang. Namun kenyataannya, banyak yang masih terikat belenggu: kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan yang kian nyata. Kita memang tidak lagi dijajah bangsa asing, tetapi bukankah kita masih terpenjara oleh sistem yang belum berpihak pada rakyat kecil?
Aku termenung lebih lama. Di televisi nanti, akan ada tayangan presiden berpidato, pejabat berdasi membacakan naskah perjuangan, kamera menyorot barisan anak sekolah yang menahan panas demi tegak sempurna. Semuanya tampak indah dan penuh wibawa. Tetapi setelah itu, apa yang tersisa? Apakah kehidupan mereka yang sakit di bangsal ini akan berubah? Apakah yang lapar di pelosok desa tiba-tiba akan kenyang hanya karena bendera dikibarkan tinggi?
Di RS Airan Raya, pagi ini, aku melihat perayaan kemerdekaan dari sudut yang berbeda. Yang ada hanyalah kesunyian, perlawanan kecil melawan sakit, dan doa-doa lirih agar esok sedikit lebih baik. Merdeka yang sejati bukanlah seremoni, melainkan hadirnya keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan nyata. Selama itu belum terwujud, perayaan hanyalah lamunan—indah dipandang, namun hampa di dalam hati. (Red)