Pencak Silat , Negara, Dan Dilemma Hegemoni Kultural*: *Analisis Kritis Pagar Nusa Dalam Konteks Kekuasaan

HEADLINE92 Dilihat

Penulis : M. Ridho Malik Ibrahim

Pagar Nusa dalam konteks politik kekuasaan Indonesia mengangkat pertanyaan fundamental tentang hubungan antara tradisi rakyat dan aparatus negara. Organisasi yang lahir pada 1986 ini menjadi sebuah contoh menarik bagaimana negara dapat mengkooptasi simbolsimbol budaya untuk melegitimasi kekuasaannya. Analisis ini akan mengeksplorasi dinamika tersebut melalui kerangka teoretis Althusser dan Gramsci, sambil merefleksikan posisi autentik pencak silat sebagai tradisi perlawanan.

*Dalam Konteks Historis: Kelahiran Pagar Nusa di Era Orde Baru*

Pagar Nusa berdiri pada masa puncak kekuasaan Orde Baru, ketika kontrol negara terhadap organisasi masyarakat sipil sangat ketat. Menurut dokumentasi NU Online, organisasi ini lahir dari inisiatif ulama dan pendekar Nahdlatul Ulama yang ingin menjaga keamanan pesantren dan nilai-nilai spiritual Islam tradisional. Konteks ini penting karena menunjukkan bahwa Pagar Nusa awalnya merupakan respons organik masyarakat sipil terhadap kebutuhan keamanan dan pelestarian budaya, bukan produk rekayasa negara.

Namun, kelahiran di era Orde Baru tidak lepas dari dinamika politik yang kompleks. Rezim Soeharto dikenal memiliki strategi kooptasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang potensially dapat menjadi oposisi. Organisasi berbasis agama dan budaya lokal, termasuk yang berkaitan dengan seni bela diri, sering dijadikan mitra dalam program-program pembangunan nasional sebagai bentuk kontrol sosial yang halus.

*Aparatus Ideologi Negara: Kerangka Teoretis Althusser*

Louis Althusser dalam karyanya “Ideology and Ideological State Apparatuses” (1970) menjelaskan bagaimana negara modern tidak hanya mengandalkan aparatus represif (polisi, militer), tetapi juga aparatus ideologi untuk mempertahankan kekuasaan. Aparatus ideologi negara bekerja melalui institusi-institusi yang tampaknya netral: sekolah, gereja, media massa,
keluarga, dan organisasi budaya.

Dalam konteks Pagar Nusa, saya melihat bagaimana negara memanfaatkan tradisi
pencak silat sebagai aparatus ideologi. Ketika pendekar Pagar Nusa tampil dalam upacara kenegaraan, apel bela negara, dan program pengamanan masyarakat, mereka tidak hanya menampilkan keterampilan bela diri, tetapi juga menyampaikan pesan tentang patriotisme, ketertiban, dan loyalitas terhadap negara.

Proses ini sangat bersifat halus dan tidak disadari oleh pendekar pagar nusa. Para pendekar mungkin tidak merasa sedang “dimanfaatkan” oleh negara, karena mereka juga mendapat manfaat: pengakuan, dukungan finansial, dan platform untuk mengembangkan organisasi. Namun, dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis esensi kritis pencak silat sebagai tradisi yang historically bersifat subversif.

*Hegemoni Kultural Gramsci dan Domestikasi Perlawanan*

Antonio Gramsci dalam “Selections from the Prison Notebooks” (1971)
mengembangkan konsep hegemoni kultural yang lebih kompleks dari sekadar dominasi politik. Hegemoni terjadi ketika kelas penguasa berhasil membuat ideologinya diterima sebagai
“common sense” oleh kelas yang dikuasai. Ini bukan pemaksaan, tetapi persetujuan yang diproduksi melalui proses kultural yang panjang.

Dalam kasus Pagar Nusa, hegemoni kultural bekerja melalui normalisasi peran pencak silat sebagai “pelengkap” kekuasaan negara.Narasi tentang pencak silat sebagai “warisan budaya yang harus dilestarikan” dan “kekuatan yang mendukung stabilitas nasional” menjadi dominan. Narasi alternatif tentang pencak silat sebagai tradisi perlawanan dan pemberdayaan masyarakat marginal perlahan terpinggirkan dan tersingkirkan.

Gramsci juga menekankan pentingnya “intellectual organik” dalam proses counterhegemoni. Dalam konteks pencak silat, para pendekar sesungguhnya berpotensi menjadi intellectual organik yang dapat mengkritisi dan melawan hegemoni negara. Namun, ketika mereka terintegrasi ke dalam struktur kekuasaan, kemampuan kritis mereka dapat tumpul.

*Silat sebagai Tradisi Perlawanan: Perspektif Historis*

Sejarah pencak silat di Indonesia penuh dengan narasi perlawanan. Dari perjuangan melawan kolonialisme hingga resistensi terhadap ketidakadilan sosial, pencak silat selalu menjadi medium pemberdayaan masyarakat. Tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, hingga para pejuang kemerdekaan lainnya menggunakan keterampilan silat dalam perjuangan politik.

Di era modern sekarang, banyak pendekar yang terlibat dalam gerakan sosial, advokasi hak asasi manusia, dan perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Ini sebuah tradisi yang menunjukkan bahwa pencak silat memiliki potensi sebagai kekuatan transformatif sosial, bukan sekadar pelestarian budaya yang steril.

Namun, ketika pencak silat dikooptasi oleh negara, potensi transformatif ini dapat tereduksi menjadi spektakel budaya atau instrumen legitimasi kekuasaan. Ini bukan berarti semua bentuk kolaborasi dengan negara adalah salah, tetapi perlu ada kesadaran kritis tentang batasan dan risiko dari kolaborasi tersebut.

*Dilema Kontemporer: Antara Pelestarian dan Kooptasi*

Organisasi seperti Pagar Nusa ini sekarang menghadapi dilema yang kompleks. Di satu sisi, mereka membutuhkan dukungan negara untuk mengembangkan organisasi, melestarikan tradisi, dan menjangkau masyarakat luas. Kolaborasi dengan pemerintah dapat memberikan akses ke sumber daya, platform, dan legitimasi yang diperlukan untuk sustainability organisasi.

Di sisi lain, kedekatan dengan kekuasaan dapat mengikis independensi dan kemampuan kritis organisasi. Ketika Pagar Nusa menjadi bagian dari “establishment,” apakah mereka masih dapat bersuara ketika pemerintah melakukan kebijakan yang merugikan masyarakat? Apakah mereka masih dapat menjadi suara bagi mereka yang termarginalkan?

Pertanyaan saya ini semakin relevan dalam konteks demokrasi Indonesia yang masih fragile. Ketika ruang sipil mengalami penyempitan, peran organisasi berbasis tradisi seperti Pagar Nusa menjadi crucial. Mereka dapat menjadi alternative space untuk artikulasi kepentingan masyarakat, atau sebaliknya, menjadi instrumen untuk meredam kritik.

*Merebut Kembali Narasi Pencak Silat*

Pada akhirnya saya menyimpulkan Pencak silat, termasuk yang dipraktikkan oleh Pagar Nusa, berada di persimpangan antara tradisi dan modernitas, antara pelestarian dan transformasi, antara kolaborasi dan resistensi. Tantangan utamanya adalah bagaimana mempertahankan esensi emansipatoris pencak silat sambil tetap relevan dalam konteks kontemporer. Kunci dari resolusi dilemma ini adalah consciousness dan agency dari para praktisi pencak silat sendiri. Mereka perlu memahami kontek politik dari aktivitas mereka dan secara conscious memilih untuk posisioning organisasi mereka. Apakah mereka akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, atau mereka akan mempertahankan peran kritis sebagai suara alternatif dalam masyarakat?

Seperti yang saya sampaikan narasi di awal, “pendekar sejati bukan alat negara, dia adalah penjaga nilai.” Nilai-nilai ini bukan abstraksi, tetapi komitmen konkret untuk keadilan, empowerment, dan transformasi sosial. Ketika nilai-nilai ini terancam oleh kekuasaan, seorang pendekar sejati harus berani berkata “tidak.”

Pada akhirnya, masa depan pencak silat tidak akan ditentukan oleh negara ataupun kekuatan pasar, melainkan oleh pilihan yang diambil para pelakunya setiap hari. Apakah mereka memilih tunduk atau melawan, mempertahankan tradisi atau melakukan perubahan, itulah yang akan menentukan jejak warisan pencak silat bagi generasi yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *